TAK banyak sejarah yang menukil seorang maestro peradaban yang tidak
hanya dikenal di timur tapi juga di Barat. Dia Hamzah Fansuri, ulama
yang pujangga nusantara. Dalam karya-karyanya ditemukan kunci peradaban
satu kaum (Aceh). Di Malaysia, sastra menjadi tumpuan kaki peradaban
Melayu, sehingga pujangga ditempatkan di atas para intelektual.
Jika kita simak satu lagu Aceh yang sering dinyanyikan oleh Rafly, maka kita tidak akan bisa melupakan syair berikut.
//Wahai muda kenali dirimu/ ialah, perahu tamsil tubuhmu
tiadalah berapa lama hidupmu/ ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman/ hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan/ itulah jalan membetuli insane
Wujud Allah nama perahunya/ ilmu Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudinya/ yakin akan Allah nama pawangnya
Tuntuti ilmu jangan kepalang/ di dalam kubur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang/ menanyakan jikalau ada engkau sembahyang
Munkar wa Nakir bukan kepalang/ suaranya merdu bertambah garang
tongkatnya besar terlalu panjang/ cabuknya banyak tiada terbilang.
Kenal dirimu hai anak Adam/ tatkala di dunia terangnya alam
sekarang di kubur tempatmu kelam/ tiadalah berbeda siang dan malam//
(Syair Perahu Hamzah Fansuri)
Bait syair itu tak asing di telinga orang Aceh lewat lagu Rafli
Kande. Itulah syair karya pujangga besar Hamzah Fansuri; seorang ulama
sufi terkenal pada masa pemerintahan Sultan Iskanda Muda. Syair itu
menegaskan maqam spiritual sufistik seorang Hamzah Fansuri yang
dituangkan di dalam untain syair yang amat indah dan bernas.
Harus diakui, walaupun di Aceh saat ini tidak satupun ahli mengenai
pemikiran Hamzah Fansuri, namun karya-karnya bukan hanya dikenang pada
zamannya tetapi terus menjadi bahan kajian para ilmuansampai saat ini.
Dalam sejarah peradaban Asia, nama Hamzah Fansuri masuk ke dalam pemikir
garda depan yang tidak hanya berhasil di dalam dunia tasawwuf, tetapi
juga di dalam dunia sastra. Maka tak perlu kaget ketika Prof Dr. Naguib
Alatas dalam bukunya ìThe Mysticcism of Hamzah Fansuriî mengatakan
bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII,
penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu.
Hamzah Fansuri adalah ìJalaluddin Rumiî-nya kepulauan Nusantara.
Bahkan, menurut Naguib, Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun
pertama dalam bahasa Melayu. Sayang, syair Hamzah Fansuri tidak
dimasukkan di dalam dunia pendidikan Aceh, sehingga, sosok Hamzah
Fansuri kemudian ìditarikî pada akar budaya Melayu, bukan Aceh. Hal ini
selain karena generasi Aceh tidak paham akan persoalan akar budaya
sendiri.
Di beberapa negara Muslim, sang pujangga selalu dikenal dengan
kewibawaan dan kebijaksanaan akan ilmu agama. Jalaluddin Rumi melalui
Mathnawi telah berhasil memberikan kontribusi terhadap bagaimana
tasawwuf bisa bersilaturrahmi dengan sastra. Lalu, Ikhwan al-Safa, juga
telah berhasil memberikan pemikiran tasawwuf yang sampai sekarang masih
dikaji dan diteliti. Ini bedanya dengan masyarakat Aceh, pemikiran ulama
tasawwuf masih belum begitu penting. Belum lagi jika kita buka
bagaimana karya-karya Ibnu ëArabi yang nasihat-nasihat sufistiknya penuh
dengan ragam sastrawi.
Hamzah Fansuri, masih menurut Al-Attas, punya jasa besar dalam
memajukan bahasa Melayu. Pengaruhnya luar biasa di kalangan cendikiawan
Melayu, namun cukup sedikit kontribusinya dipelajari di Aceh. Bahasa
Melayu sebagai linguafranka yang dijadikan bahasa nasional Indonesia,
sebenarnya dipelopori pujangga Melayu seperti Hamzah Fansuri. Setidaknya
unsure serapan yang kini digunakan. Hal ini karena pengetahuannya yang
luas dalam bahasa Arab dan Persia. Dengan sendirinya, ia pun membawa
pula pembaharuan di bidang logika atau ilmu mantiq. Lagi-lagi, setelah
Naquib yang pernah menjadi Direktur ISTAC di Malaysia, tidak ada lagi
generasi Melayu yang berhasil menemukan keaslian pemikiran Hamzah.
Dapat dikatakan dengan semangat pemikiran Hamzah lah, Naquib
membangun suatu pusat peradaban Islam di Malaysia yang sudah banyak
sekali alumninya, termasuk di Indonesia. Menurut sejarah, pada masa
Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil 1589 - 1604 M.), terdapat
dua orang ulama keturunan Syekh Al Fansuri mendirikan dua Pusat
Pendidikan Islam di pantai barat Tanah Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah
Singkil.
Ali Al Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adapun
adiknya, Hamzah, mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng pada
tahun 1592 M. Syekh Ali H Fansuri dikurniai seorang putera dan diberi
nama Abdurrauf. Ulama inilah yang kemudian menjadi seorang Ulama Besar
yaitu Syekh Abdurrauf Alfansuri Asshingkili atau Teungku Syiahkuala
yang kuburannya terdapat di Kecamatan Syiah Kuala saat ini.
Teka-teki Hamzah
Mengenai kelahiran Syeikh Hamzah Fansuri sampai sekarang masih
merupakan teka-teki. Demikian juga tahun kapan ia meninggal tak
diketahui secara pasti. Namun beliau menjadi ulama yang sangat
berpengaruh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
Tuduhan Nuruddin Arraniri bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan yang
sesat (zindiq), ternyata keliru. Dalam sajak-sajaknya sendiri Hamzah
Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau pengikut-pengikutnya yang
telah menyelewengkan ajaran tasawuf yang sebenarnya. Kata Hamzah :
//Segala muda dan sopan/ Segala tuan berhuban/ Uzlatnya
berbulan-bulan/ Mencari Tuhan ke dalam hutan/ Segala menjadi ìsufiî/
Segala menjadi ìshawqiî (=pencinta kepayang)/ Segala menjadi Ruhi (roh)/
Gusar dan masam di atas bumi (menolak dunia)//
Sebagaimana lazimnya ìPenyair Sufiî, maka sajak-sajak Hamzah Fansuri
penuh dengan rindu-dendam; rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya,
Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Karena itulah, maka ìKarya Tulisî Hamzah
Fansuri sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak
membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasauwuf/Penyair
Sufi. Mungkin termasuk Ar-raniry tak mampu menjangkau Hamzah. Inilah
kunci kenapa pemikiran tasawwuf sulit dipahami jika seseorang tidak
mengalami pengalaman spiritual.
Karya Hamzah yang terkenal, antara lain pertama, Asraarul Arifiin Fi
Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid, yang membahas masalah-masalah ilmu tauhid
dan ilmu thariqat. Kedua, Syaraabul Asyiqin, yang membicarakan
masalah-masalah thariqat, syariat, haqiqat dan makrifat. Ketiga, Al
Muntahi, yang membicarakan masalah-masalah tasauwuf. Keempat, Rubah
Hamzah Fansuri, syair sufi yang penuh butir-butir filsafat. Kelima,
Syair Burung Unggas, juga sajak sufi yang dalam maksudnya.
Menurut Hamzah Fansuri, bahwa manusia yang telah menjadi ìInsan
Kamilî tidak ada lagi pembatas antara dia dan Mahbubnya. Ini pemikiran
yang juga pernah berkembang di dalam Islam yaitu Mansur al-Hallaj, Ibn
ëArabi, dan di Indonesia juga pernah digulirkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta meninggal 27
Desember 1636 M. Syekh Hamzah Fansuri tokoh agung nusantara, ulama
sangat dikenal di Asia Tenggara ini, walaupun di negerinya sendiri
dilupakan, wafat di Singkil, dekat kota kecil Rundeng. Beliau
dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel
Makamnya sangat dimuliakan.
Inilah sepenggal seorang maestro peradaban, ulama Aceh pengawal
rantau asia yang telah menjadi milik dunia, namun tercecer dari catatan
sejarah bangsa ini akibat hegemoni politik dan fitnah. Masih banyak
misteri kehidupan Hamzah Fansuri yang belum terkuak, terutama kampong
halamannya dan bagaimana akhir kehidupannya. Padahal pengaruh
pemikirannya sedikit banyak telah mewarnai pemikiran keislaman di
Nusantara. Akhirnya, saya berharap semangat intelektual Hamzah Fansuri
ini perlu dibangkitkan dan dijadikan sebagai sebuah simbol kemegahan
dunia Aceh. Karena Hamzah bagaimanapun adalah seorang pujangga yang
tidak ada tandingannya.(Catatan M Adli Abdullah)
Sumber : Serambi Indonesia
Komentar