CATATAN tentang ulama Mekkah yang ke Aceh pada masa Sultan
Badrul Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726). Sejak
Azyumardi Azra meneliti jaringan ulama Nusantara pada abad XVII-XVII,
didapati hubungan Aceh dengan Haramayn (Mekkah dan Madinah) telah
membawa gagasan pembaharuan Islam di Nusantara. Maka kehadiran Chik Awe
Geutah ke Aceh tidak lepas dari jaringan ulama pada abad ke-17 dan 18
itu.
Tgk Chik Awe Geutah yang nama aslinya Syaikh ëAbdurrahim Bawarith
al-Asyi adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris dari Zabid Yaman.
Bersama adiknya Syaikh Abdussalam Bawarith al-Asyi, dan tujuh ulama
lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi, mereka
berangkat ke Aceh.
Sampai sekarang, keturunan Chik Awe Geutah bermukim di sekitar
kuburannya di Awe Geutah, Peusangan. Dari wilayah itu beliau menyiarkan
Isl‚m ke seluruh pelosok Serambi Mekkah dengan berkonsentrasi pada ilmu
tafsir, hadits, fiqah dan tassauf. Sedangkan adiknya yang menetap di
Samalanga, mendirikan Dayah Cot Meurak di Samalanga.
Catatan sejarah, kedua cendekia muslim itu (Syaikh Abdurrahim dan
Syaikh Abdussalam) sebelum merantau ke kerajaan Aceh dititipkan oleh
orangtua mereka pada Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji di Zabid, Yaman yang
kemudian belajar di Mekkah dan Madinah. Pengajian beliau pada Syaikh
Al-Mizjaji di Zabid, dapat diketahui dari salah satu manuskrip di Awe
Geutah. Terdapat catatan-catatan sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin
karya Imam an-Nawawi tentang sanad hadits pengalihan kiblat (hadits
musalsal), dan juga di dalam silsilah ratib Haddad yang terdapat di
antara lembaran-lembaran manuskrip tersebut.
Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan,
Syaikah Al-Mizjaji ini juga guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205
H), pengarang Taj Al-ëUrus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah
AlTaj Al-íUrus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin .
Murthadha Az-Zabidi kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama
terkemuka di sana.
Ijazah ilmu
Untuk mengetahui hubungan al-Mijazi dengan kedua Ulama besar ini,
dapat dilihat dalam satu naskah yang kini masih tersimpang di Awe
Geutah; tertulis ì Wa baíd, maka inilah sanad Al-Azkar dan Riyadh
Ash-Shalihin bagi Al-Imam Syaraf Ad-Din An-Nawawi Rahimahullah. Faqir
kepada Allah, `Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, semoga Allah memanjangkan
umurnya, berkata: sesungguhnya aku telah meijazahkan ananda yang shalih,
`Abd Ar-Rahim Al-Asyi sebagaimana telah diijazahkan kepadaku keduanya
(Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin) Ayahanda, wali yang sempurna lagi
menyempurnakan, dan Al-íArif bi-lLah, Az-Zain bin Muhammad Al-Mizjajiî
dan ini menjadi bukti sejarah menunjukkan bagaimanan hubungan
intelektual Aceh dengan para ulama besar di jazirah Arab.
Ijazah ilmu menjadi tradisi intelektual Isl‚m. Keharusan guru
memberikan kepada muridnya agar ilmu yang disebarkan oleh murid memiliki
dasar yang kuat. Pemberian Ijazah ini merupakan tradisi keilmuan di
timur tengah yang sampai sekarang masih dilakukan.
Bila ditelusuri pengakuan ijazah ilmu, maka sampai pada Chik Awe
Geutah juga mendapatkan sanad ilmu dari ulama besar, yang memiliki murid
yang amat dikenal di rantau Asia Tenggara, yaitu Ibrahim al-Kurani.
Seperti pengakuan berikut; ìWa baíd, maka sungguh telah di-ijazah-kan
kepadaku oleh syaikhiy lagi quduwwatiy, seorang yang utama dan sempurna,
`Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dari Asy-Syaikh Mulla Ibrahim Al-Kurdi
Al-Kuraniy.î Dari jaringan keilmuan ini, maka dapat diketahui bahwa
guru-guru al-Kurani adalah Ahmad Qushashi, Ahmad Shinawi, dan `Abd Karim
al-Kurani, yang mengembangkan tarekat Shattariyyah di Haramayn. Karena
itu, tidak mengejutkan jika Chik Awe Geutah dan adiknya pengembang
tarekat Syattariah di Aceh. Buktinya, di Awe Geutah dan Samalanga para
pengikut tarekat ini sangat banyak, untuk tidak menyebutkan di beberapa
wilayah Aceh lainnya.
Disebutkan setelah di Aceh, Chik Awe Geutah bersama adiknya Syaikh
Abdussalam menetap di Lamkabeu Seulimum Aceh Besar. Namun, Sultan Badrul
memintanya untuk pergi ke pantai timur karena di Aceh Besar telah ada
Teungku Chik Tanoh Abe yang berasal dari Baghdad dan pengembang tarekat
Syattariyyah. Syaikh Abdussalam memutuskan menetap di Cot Meurak
Samalanga. Dia akhirnya membuka Zawiyah di sana yang sampai sekarang
masih ada bukti sejarahnya. Adapun abangnya, Chik Awe Geutah ke
Peusangan dan membuka Zawiyah di Awe Geutah dengan berkonsentrasi pada
pengajian Alquran, hadis, fiqh dan tasawwuf. Samalanga dan Peusangan
dan telah menjadi pusat pendidikan dayah sampai hari ini.
Maka kita bisa memahami ilmu Isl‚m yang dikembangkan oleh para ulama
terdahulu sangatlah tidak mudah dan menuntut mujahadah yang amat besar.
Ilmu Isl‚m yang berkembang di Aceh saat ini, memang tidak terlepas dari
jasa kedua ulama besar ini, walaupun semangat mereka tidak begitu
diperhatikan oleh generasi Aceh sekarang. Minat untuk mencari ilmu Isl‚m
memang sudah tidak begitu popular, apalagi ingin mengembangkan
ilmu-ilmu yang pernah disemaikan oleh kedua ulama tersebut.
Sisi lain, hubungan Aceh dengan Haramayn tidak bisa dipandang sebelah
mata. Munculnya dayah-dayah di penjuru Aceh adalah sinar pengembangan
ilmu Isl‚m saat itu. Melihat dari kedatangan dan jaringan intelektual
keislaman Chik Awe Geutah dan adiknya, saya beranggapan bahwa ilmu
merupakan hal yang sangat penting bagi orang Aceh pada abad ke-17.
Sultan selalu memanggil dan memerintahkan ulama untuk aktif
mengembangkan ilmu bagi rakyat Aceh.
Kecuali hubungan Aceh dan Haramayn juga menyiratkan bagaimana
hubungan antara ërumahí dan ëserambií seperti yang dikenal saat ini
yakni Serambi Mekkah, Maka tidak heran sampai saat ini masih tersisa
peninggalan Aceh di Mekkah yang berbentuk tanah tanah dan rumah wakaf
yang dijadikan sebagai asrama bagi mahasiswa Aceh yang menuntut ilmu di
sana. Jadi, lakab ini bukan karena kemegahan istana atau kepiawaan bala
tentara, tetapi ilmu yang dikembangkan oleh ulama Aceh adalah ilmu-ilmu
yang berasal dari sumber penyebaran Islam di dunia ini yakni Mekkah dan
Madinah. Adakah generasi Islam Aceh sekarang mau bercermin? Ketika
ulama pada masa dulu dalam menyebar ilmu, tidak mau dibelokkan akal dan
pikirannya pada materi, seperti slogan mencari ilmu untuk bekerja. Sebab
ulama dulu mencari ilmu adalah untuk mengenal Allah dan menuju manusia
yang sempurna (insan kamil). Sedangkan ulama sekarang entahlah...? *
(
Penulis: M. Adli Abdullah )
Sumber : Serambi Indonesia
Komentar