Langsung ke konten utama

Hutan atau Lautan Api

Oleh Mahfudh Harun

KEBAKARAN hutan di Indonesia sepertinya tidak pernah berhenti. Awal 2014 ini pun kebakaran hutan kembali terjadi di berbagai daerah dengan luasan ribuan hektare. Hutan di “Negeri Lancang Kuning” Riau, misalnya, menjadi santapan “si jago merah” yang telah menimbulkan bencana tersendiri terhadap kehidupan. Bahkan, api seakan tak mengenal hutan milik siapa, hingga hutan bumi Serambi Mekkah pun menjadi sasaran korban lalapan kobaran api.

Lihatlah, apa yang terjadi terhadap hutan di pulau Sumatera, seperti hutan di Riau kini sedang terbakar pelan-pelan tapi pasti dan menjalar luas. Demikian pula di Aceh, tidak kurang dari lima kabupaten yang marak terjadi kebakaran, yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya (Abdya), dan Pidie (Serambi, 13/2/2014).

Gas pembakaran berupa asap melayang ke udara menyelimuti atmosfir Indonesia. Tidak hanya bersifat polusi udara domestik, rupanya asap terbang bersama tiupan angin ke belahan dunia lain. Ia bak komoditas yang “diekspor” sampai ke negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura. Padahal, secara normal hutan di Indonesia mampu “mengekspor” komoditas terbaik gas oksigen untuk pernafasan kehidupan penduduk di dunia.

Salah siapa? Rumput yang bergoyang pun menggeleng tak tahu siapa yang membakar. Ketika ditanya ke pengusaha yang melakukan investasi di bidang perkebunan atau kehutanan, pasti menjawab mereka tidak melakukannya, kecuali sedikit sekali perusahaan yang mengakui, itu pun karena “tertangkap basah.” Para ahli menjawab dari sisi ilmiah sebab-sebab munculnya titik api atau karena kemarau panjang yang meningkatnya temperatur hingga muncul api atau analisis lainnya. Menurut Indro Sugianto dari ICEL (Indonesian Center of Environmental Law) yang mengetahui hutan tersebut terbakar atau dibakar adalah ahlinya. Namun, pada kenyataannya, begitu rapi proses pembakaran itu terjadi, tak ada yang mampu mengungkapkannya secara jelas dan tegas.

Penyangga kehidupan
Sebenarnya tidak akan ada asap kalau tidak api. Seperti kata pribahasa, “ada asap ada api.” Ini artinya kebakaran yang terjadi pasti ada sebabnya. Sebabnya juga bisa bermacam-macam, karena iseng-iseng (main-main), tidak sengaja/kelalaian, dan sengaja. Kesengajaan dapat saja dilakukan oleh pribadi, kelompok yang tidak sadar akan pentingnya penyangga kehidupan, bisa jadi dilakukan oleh institusi/perusahaan yang berkepentingan terhadap pembukaan lahan (land clearing) dengan dalih perekonomian rakyat. Namun, menurut referensi menyebutkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia sebanyak 90% disebabkan oleh manusia dan selebihnya kehendak alam (ekosistem-ekologi.blogspot.com).

Efek kebakaran hutan baik secara “kronis” maupun “akut” membawa kerugian di berbagai sektor. Efek-efek yang dimaksud misalnya, terganggunya kesehatan manusia, lumpuhnya aktivitas ekonomi, terjadinya bencana banjir, rusaknya ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, lenyapnya mikroorganisme tanah, dan lain sebagainya.

Kerugian demi kerugian yang secara lambat-laun (gradually) melahirkan pula bencana dalam berbagai bentuk dengan tempo yang singkat maupun dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. Bayangkan saja, asap yang muncul mempengaruhi take off dan landing pesawat terbang karena visibilitas tidak memungkinkan pilot untuk menerbangkan pesawatnya. Seperti yang dikabarkan Riau Pos (7/3/2014) bahwa sampai 50 penerbangan ditunda akibat kabut asap. Akibatnya apa? Perusahaan penerbangan otomatis mengalami kerugian secara financial. Dari sisi kesehatan, asap membuat terganggunya penglihatan, sistem pernafasan manusia, iritasi kulit yang menimbulkan penderitaan yang panjang. Bahkan, asap racun (karbon monoksida) yang terhirup memakan korban sampai kematian.

Padahal, regulasi tentang penyelamatan planet Bumi tempat hunian manusia dan makhluk hidup lainnya dengan jelas dan tegas telah mengaturnya. Misalnya UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dan sederetan aturan lainnya. Esensinya adalah bahwa negara concern dan menjamin keberlangsungan kehidupan baik manusia dan ekosistem dengan tetap lestarinya penyangga kehidupan seperti hutan dan lingkungan hidup.

Demikian juga PP No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Akan tetapi, kepentingan-kepentingan siluman menghantam rel yang telah terpasang rapi. Kepentingan yang terkadang mengabaikan regulasi dengan tidak melakukan analisis yang bijak dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya saja, untuk membuka lahan untuk kepentingan perekonomian rakyat, tentu telah ada prosedur-prosedur teknis yang konservatif seperti land clearing, mengapa harus membakar?

Tindakan preventif
“Mencegah lebih baik dari pada mengobati”, demikian kata pepatah dalam memandang fenomena kebakaran selama ini. Artinya, melakukan berbagai tindakan preventif seperti yang telah diatur dalam regulasi lebih baik dari pada setiap saat kita harus merehabilitasi lahan yang rusak/terbakar oleh api. Atau setiap saat kita harus hidup dalam bencana hasil kreasi tangan-tangan tidak bertanggung jawab.

Pemerintah dan stakeholders terkait continuesly meningkatkan perannya dalam melindungi hutan dari berbagai tindakan-tindakan berbahaya baik lokal maupun berefek global. Alokasi anggaran untuk sektor kehutanan, instansi terkait, bahkan untuk institusi aktivitas lingkungan perlu diperhitungkan secara cermat untuk mengimplementasikan perlindungan dan pengelolaan lahan dan hutan. Pemberian izin pembukaan lahan tidak segampang membalikkan telapak tangan, perlu kajian yang melibatkan para pihak termasuk Walhi perlu dilibatkan sebagai mitra aktif.

Waktu kemarin memang telah berlalu, namun untuk ke depan butuh langkah cerdas. Untuk mendeteksi secara dini kebakaran hutan tentu tidak jauh berbeda dengan sistem deteksi potensi tsunami pasca gempa. Artinya, Early Warning Sistem diperlukan untuk deteksi titik api yang baru saja muncul, sehingga dengan cepat tim penanggulangan bencana bergerak ke lokasi tidak perlu menunggu sampai kebakaran memakan ribuan hektare. Sistem komunikasi antara tim lapangan yang ditempatkan dengan tim yang ada di pusat control system dapat menyampaikan informasi emergency yang segera ditangani.

Sistem informasi dini titik api kebakaran hutan tidak berjalan tanpa didukung dengan peralatan lainnya, pesawat atau kenderaan operasional. Helikopter pemadaman serta pilot khusus untuk gerak cepat perlu dipikirkan termasuk tempat landing dan take off. Tugasnya segera mematikan api dengan penyiraman air atau gas untuk memadamkan api setelah adanya informasi dari sistem yang terpasang.

Banyak hal lain perlu dilakukan jika hutan dan lingkungan hidup ingin tetap memberikan kenyamanan kehidupan. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat perlu segera ditumbuhkan agar perekonomian rakyat dapat memenuhi kebutuhan hajat hidupnya, sehingga ketergantungan nafkah di hutan dapat direduksi. Di samping itu, kearifan lokal serda budaya yang telah mengakar dalam pelestarian hutan tempo doeloe kiranya perlu dikaji kembali supaya mainset kita tetap think globally, tapi act locally. Intinya, selamatkan hutan dan lahan untuk anak cucu kita atau kita sedang membiarkan hutan menjadi “lautan api”?

Oleh : Mahfudh Harun, Alumnus Konservasi Sumberdaya Lahan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, dan kini bekerja di Dinas Pertanian (Distan) Aceh. Email: mahfudhmp@yahoo.com

Sumber  : serambi Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KERAJAAN PEDIR (PIDIE)

Wilayah Kerajaan S ejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara. Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Menurut M. Junus Jamil, Suku...

Ranup Lampuan

Ranup Lampuan adalah kesenian tari yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam. Tari ini merupakan visualisasi dari salah satu filosofi hidup warga Aceh, yakni menjunjung keramah-tamahan dalam menyambut tamu. Gerakan demi gerakan dalam Ranup Lampuan menggambarkan prosesi memetik, membungkus, dan menghidangkan sirih kepada tamu yang dihormati, sebagaimana kebiasaan menghidangkan sirih kepada tamu yang berlaku dalam adat masyarakat Aceh. Menilik karakteristiknya, atas dasar tersebut, tari ini digolongkan ke dalam jenis tari adat/upacara. Tarian Ranup Lampuan (ATjeh) Sejarah Ranup Lampuan Ranup (atau ranub) dalam Bahasa Aceh memang berarti sirih, sementara lampuan terdiri dari dua kata, yakni (lam) yang artinya dalam, dan (puan) yang berarti tempat sirih khas Aceh. Tarian ini diciptakan oleh Yusrizal (Banda Aceh) kurang lebih pada 1962 (Burhan, 1986; 141). Tak lama setelah populer di Banda Aceh, tari ini berkembang di berbagai daerah lainnya di Nangroe Aceh Darussalam. Selain Ra...

Teuku Cut Ali "Pejuang Dari Aceh Selatan"

T euku Cut Ali dilahirkan di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, tahun 1795. Ayahnya, Teuku Cut Hajat, ibunya Nyak Puetro. Teuku Cut Ali, salah satu keturunan Raja Trumon. Kakeknya, Teuku Nyak Dhien, Raja keenam yang pernah memimpi Kerajaan Trumon.Trumon, merupakan salah satu daerah termasyur dan makmur di Wilayah Aceh Selatan. Itu disebabkan, karena Kerajaan Trumon, merupakan sembilan dari kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureng (Cap Sembilan). Trumon, mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia. Sejak kanak-kanak, Teuku Cut Ali, sudah memiliki bakat seorang pejuang. Itu, terlihat dari sikapnya yang tegas dan setia kepada teman. Teuku Raja Angkasah, merupakan teman akrab Teuku Cut Ali, mereka sama-sama berjuang melawan Belanda di medan perang. Saat usia 18 tahun, Teuku Cut Ali, sudah ikut berperang melawan Belanda. Beranjak usia 20 tahun, Teuku Cut Ali, dipercayakan menjadi Panglima Sagoe dan sejumlah pejuang Aceh...