Langsung ke konten utama

Hutan Indonesia dan paru-paru Dunia

Negara Indonesia dahulu pernah disebut sebagai paru-paru dunia karena hutannya yang sangat luas. Indonesia juga diibaratkan bagai surga dunia “bila batang di tancapkan akan tumbuh menjadi pohon”, sampai sekarang pun negara indonesia sebagai negara agraris karena dengan hutannya yang luas kebanyakan profesi masyarakat adalah sebagai petani dan sebagian besar penduduknya masih tinggal di desa.
Dengan keadaan yang demikian tidak bisa dipungkiri lagi betapa bergantungnya masyarakat dengan hutan sebagai sumber daya alam yang berada disekitar mereka. Hutan memiliki peran yang penting sebagai paru-paru dunia karena di dalamnya banyak terdapat tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan gas oksigen selain itu hutan juga berfungsi untuk menyerap air yang kemudian diolah menjadi mata air dan cadangan air demi kelangsungan kehidupan flora dan fauna yang hidup di hutan.
Hutan juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi terutama pohon-pohon yang tumbuh subur di dalamnya. Masyarakat yang tinggal dipedesaan telah menjadi satu dengan hutan sudah selayaknya memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini mempunyai dampak positif dan negatif, dampak positifnya yaitu terpenuhinya kebutuhan masyarakat di sekitar hutan, sebagai contoh minimal terpenuhinya kebutuhan sehari-hari baik dari hasil pertanian, perkebunan atau dari hasil hutan. Sedangkan dampak negatifnya adalah bila pengolahan atau pemanfaatan sumber daya alam kurang bijaksana dapat merusak hutan seperti punahnya fauna, hutan gundul dan tanah longsor.
Hal-hal seperti inilah yang sering terjadi, kebanyakan orang memandang nilai hutan dari segi ekonomisnya saja tanpa mengindahkan kelangsungan hidup ekologi hutan. Ketika hutan mulai rusak banyak pihak yang menyalahkan negara kita, hal ini dapat dimaklumi karena kerusakan hutan terutama pengundulan hutan mempunyai dampak yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal tatapi juga masyarakat luas bahkan masyarakat dunia karena hutan tropis merupakan paru-paru dunia, apalagi karena indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan tropis terluas setelah Brazil.
Secara umum penggundulan hutan di Indonesia dapat mengakibatkan perubahan iklim, kemarau panjang dan kegagalan panen. Hutan yang seharusnya dapat menyerap air, setelah hutan gundul maka air dari hujan tidak dapat di tampung dan akhirnya mengalir ketempat-tempat yang lebih rendah dan menyebabkan banjir, erosi, dan kemudian tanah longsor. Kekeringan melanda pada musim kemarau karena cadangan air yang seharusnya dapat diciptakan oleh hutan sudah lenyap. Keadaan ini diperparah lagi dengan adanya pemanasan global yang di ciptakan manusia pula yaitu disebabkan oleh efek rumah kaca. Pemanasan global akan dikuti dengan perubahan iklim seperti curah hujan yang tidak teratur menambah parah bencana-bencana yang terjadi.
Oleh karena itu diperlukan solusi-solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan seperti yang telah di jelaskan di atas demi kelangsungan hidup umat manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KERAJAAN PEDIR (PIDIE)

Wilayah Kerajaan S ejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara. Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Menurut M. Junus Jamil, Suku...

Ranup Lampuan

Ranup Lampuan adalah kesenian tari yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam. Tari ini merupakan visualisasi dari salah satu filosofi hidup warga Aceh, yakni menjunjung keramah-tamahan dalam menyambut tamu. Gerakan demi gerakan dalam Ranup Lampuan menggambarkan prosesi memetik, membungkus, dan menghidangkan sirih kepada tamu yang dihormati, sebagaimana kebiasaan menghidangkan sirih kepada tamu yang berlaku dalam adat masyarakat Aceh. Menilik karakteristiknya, atas dasar tersebut, tari ini digolongkan ke dalam jenis tari adat/upacara. Tarian Ranup Lampuan (ATjeh) Sejarah Ranup Lampuan Ranup (atau ranub) dalam Bahasa Aceh memang berarti sirih, sementara lampuan terdiri dari dua kata, yakni (lam) yang artinya dalam, dan (puan) yang berarti tempat sirih khas Aceh. Tarian ini diciptakan oleh Yusrizal (Banda Aceh) kurang lebih pada 1962 (Burhan, 1986; 141). Tak lama setelah populer di Banda Aceh, tari ini berkembang di berbagai daerah lainnya di Nangroe Aceh Darussalam. Selain Ra...

Teuku Cut Ali "Pejuang Dari Aceh Selatan"

T euku Cut Ali dilahirkan di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, tahun 1795. Ayahnya, Teuku Cut Hajat, ibunya Nyak Puetro. Teuku Cut Ali, salah satu keturunan Raja Trumon. Kakeknya, Teuku Nyak Dhien, Raja keenam yang pernah memimpi Kerajaan Trumon.Trumon, merupakan salah satu daerah termasyur dan makmur di Wilayah Aceh Selatan. Itu disebabkan, karena Kerajaan Trumon, merupakan sembilan dari kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureng (Cap Sembilan). Trumon, mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia. Sejak kanak-kanak, Teuku Cut Ali, sudah memiliki bakat seorang pejuang. Itu, terlihat dari sikapnya yang tegas dan setia kepada teman. Teuku Raja Angkasah, merupakan teman akrab Teuku Cut Ali, mereka sama-sama berjuang melawan Belanda di medan perang. Saat usia 18 tahun, Teuku Cut Ali, sudah ikut berperang melawan Belanda. Beranjak usia 20 tahun, Teuku Cut Ali, dipercayakan menjadi Panglima Sagoe dan sejumlah pejuang Aceh...