Salah satu tradisi sastra lisan tradisional, hadih maja
(peribahasa, ungkapan tradisional) diduga telah ada dan digunakan untuk
berbagai kepentingan praktis dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak
zaman nenek moyang. Tradisi sastra lisan ini tidak diciptakan bila tidak
memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat
Aceh sehari-hari menunjukkan bahwa tradisi sastra ini sering digunakan
untuk mengontrol perilaku anggota masyarakat, khususnya generasi muda,
mewariskan nilai-nilai yang dianggap positif, mendidik, dan berbagai
fungsi pemakaian lain. Telaah teks hadih maja melalui tulisan ini mencoba menjawab persoalan perlu tidaknya hadih maja ini dilestarikan dan diwariskan ke generasi selanjutnya di tengah berbagai pengaruh global saat ini.
Menurut hemat penulis, hadih maja perlu dilestarikan untuk
memperkokoh jati diri kita sebagai salah satu subetnik yang masih
bertahan hidup di Nusantara. Hal ini dilatari oleh kenyataan bahwa
generasi saat ini sebagian besar telah melupakan nilai-nilai universal
yang terdapat dalam hadih maja sebagai sebuah tradisi sastra
lisan warisan nenek moyang. Pola perilaku kita saat ini tampaknya
semakin jauh dari konsep-konsep perilaku yang ditawarkan oleh nenek
moyang kita berdasarkan pengalaman hidup mereka tempo hari.
Hadih maja merupakan istilah lokal ke-Acehan dibentuk dari akar kata hadih dan maja. Kata hadih dipungut dari bahasa Arab ‘hadis’ yang hal ini merujuk pada perkataan, pernyataan, ungkapan verbal. Kata maja dipungut dari akar kata ma dan ja yang merujuk pada ‘moyang wanita’ atau nenek moyang, orang tua-tua. Dengan demikian, hadih maja
dapat dimaknakan sebagai ‘perkataan, pernyataan, ungkapan-ungkapan
verbal yang berasal dari nenek moyang’; kata-kata mutiara orang-orang
tua (Lihat Bakar, 1985). Dalam tradisi lisan Indonesia, secara umum
genre ini disebut dengan peribahasa, pepatah, ungkapan, bidal, dan
pemeo.
Menurut Russel (dalam Dananjaya, 1997:28) peribahasa atau ungkapan
tradisional merupakan “kebijaksanaan orang banyak, kecerdesan
seseorang”. Itu sebabnya, barangkali, dalam kehidupan sehari-hari tidak
semua anggota masyarakat pemilik peribahasa dapat menguasai, memaknai,
menghafal, dan menggunakannya secara tepat. Sedangkan menurut Dananjaya
(1997:32) seperti halnya folklor lisan lainnya, ungkapan tradisional
digunakan dalam berbagai fungsional, antara lain sistem proyeksi, alat
pengesahan pranata kebudayaan, media pendidikan, dan pengkritik.
Hadih maja atau ungkapan tradisional hidup dan berkembang
dalam masyarakat pemakai sesuai tuntutan zaman. Oleh karena itu,
Djamaris mengatakan sifat peribahasa universal. Pada konteks ke-Acehan
dapat dilihat dari matĂ© aneuk meupat jirat, reulĂ© adat hana pat ta mita ‘mati anak ada kuburannya, hancur adat tidak di mana dicari’. Hadih maja
ini sesuai untuk zaman dahulu, tetapi jika dibawa dalam konteks
tsunami, sebagian orang berendapat kurang cocok digunakan. Itulah
sebabnya dikatakan, hadih maja bersifat universal.
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi II, Juli 2007
Komentar